
Papa Tidak Kangen Aku…!!!
“Kring…..,” bunyi telepon dirumahku berdering malam itu mengagetkan aku dan Mbak Yah yang sedang menemaniku belajar membaca. Mama sedang menidurkan adikku di kamar.“Yah….Angkat teleponnya!” teriak ibu dari dalam kamar. “Ya Bu….,” begitu jawaban Mbak yah pembantu di rumahku sambil berlari mendekati telepon.Gagang telepon diangkat oleh Mbak yah dan “Halo… oh… Bapak,” mendengar kata “Bapak” yang diucapkan Mbak Yah membuatku malas meneruskan belajar dan memilih lari ke kamar tidur. Dari dalam kamar aku mendengar Mama berbincang-bincang dengan Papa di telepon, kadang-kadang namaku disebut oleh Mama. Tidak lama aku mendengar suara Mama memanggilku: “Cindy…. Ini Papa mau bicara sayang…” aku diam dan pura-pura tidur. Lalu aku dengar Mama bicara lagi sama Papa, “Pa…. Cindy sudah tidur, besok lagi saja ya….Aku mendengar langkah Mama mendekat dan aku lantas memejamkan mataku. Mama mendekat dan duduk di ranjangku, aku tetap diam. Kemudian aku mendengar Mama berkata, “Cindy, Cindy belum tidurkan ?” Tanpa pikir panjang aku menjawab, “Sudah Ma….” Lalu Mama berkata lagi, “Cindy, kamu itu lucu nak, mana ada orang tidur bisa bicara. Ayo bangun, Mama ingin bicara. ” Dengan malas aku memutar tubuhku, sehingga menghadap ke Mama. Mama memberiku isyarat agar aku duduk, tetapi aku tidak beranjak.Malam ini Mama tidak seperti biasanya, wajahnya kelihatan kecut dan tidak tampak ada senyuman seperti biasa jika mengantarkan aku tidur. Tiba-tiba aku menjadi takut kepada Mama. “Bangun dan duduk manis!” kata-kata Mama begitu tegas memaksaku untuk menuruti perintahnya. “Cindy masih sayang Papa ?” pertanyaan Mama memojokkanku membuat aku tidak bisa menjawab. Diulangnya pertanyaan yang sama dengan nada yang makin meninggi. Untuk menghindari hukuman aku mengangguk. “Kalau Cindy sayang Papa, mengapa Cindy tidak pernah mau menerima telepon Papa ? pura-pura tidur, ke WC, atau ke mana lagi, semua itu untuk menghindari Papa kan ?” aku menggeleng.Sejenak Mama diam, dari ujung mata aku mencuri memandangi Mama. Aku sadar, bahwa Mama benar-benar marah malam ini. Mata Mama berkaca-kaca seolah menaham kesedihan. Sambil terbata-bata Mama berbicara tanpa melihat kearahku. “Cindy kan tahu, kita jarang ketemu Papa karena Papa tugas di lapangan. Apa Cindy tidak kasihan sama Papa ? Papa kan kangen sama kamu nak, Papa hanya ingin mendengar suaramu! Mama sedih melihat Cindy selalu menghindari Papa.” Endah mengapa aku jadi ikut menangis. Aku menangis, karena iba melihat Mama menangis, bukan karena kasihan sama Papa lho!Sejak malam itu aku selalu memaksakan diri untuk mau berbicara sama Papa di telepon. Seharusnya Papa dan Mama tahu, bahwa aku terpaksa karena sulit bagiku untuk berpura-pura senang. Jika saja Mama dan Papa mau mendengar keluh kesahku dan memberiku kesempatan untuk bicara tentang alasanku menjauhi Papa, mungkin Papa dan Mama bisa memahamiku, atau…. junstru marah padaku!Kadang-kadang disaat aku sedang berduaan dengan Mama, ingin rasanya aku menceritakan semua perasaanku terhadap Papa. Aku bosan menerima telepon Papa karena yang diucapkan Papa selalu sama “Cindy sekarang sudah punya adik lho, jadi Cindy sudah besar,” atau “Cindy harus bantu Mama merawat adik ya….,” atau “Cindy tidak boleh nakal lho….,” dan selalu diakhiri dengan kalimat “Papa kangen banget sama Cindy.Papa bohong besar! Kangen Papa hanya di telepon. Nyatanya setiap Papa pulang, Cindy hanya dapat pelukan dan ciuman dua kali, sekali waktu datang dan sekali saat Papa mau berangkat tugas lagi.Setiap Papa pulang, Papa lebih sibuk ngurus motor dan mobilnya ketimbang menemani aku bermain. Pernah suatu ketika aku ajak Papa bermain. Pada waktu itu Papa sedang mengutak-atik mesin mobilnya. Tanpa melihat ke arahku Papa menjawab ajakanku dengan kalimat : “Sebentar ya sayang, kalau Papa sudah selesai.Aku setia menunggui Papa bekerja dengan mesin mobilnya. Ketika Papa menutup kap mobilnya, hatiku berbunga-bunga karena itu berarti Papa siap untuk bermain denganku. Dengan sigap kutangkap tangan Papa untuk kuajak bermain, tetapi Papa malah menghindar dengan alasan tangannya kotor dan harus dicuci dahulu. Aku melihat Papa menuju wastafel, Aku berfikir, bahwa Papa akan segera mencuci tangannya dan menemaniku bermain. Ketika beberapa saat Papa belum muncul, aku kemudian menyusul Papa dan astaga apa yang dilakukan Papa ? Papa sedang membersihkan wastafel dan membuka kran air di wastafel tersebut.Melihat kedatanganku, Papa langsung berkata, “Sabar ya nak, Papa lagi benerin kran supaya tidak bocor. Aku menunggui Papa sampai beberapa saat, tetapi ternyata rasa kantukku mengalahkan kesetiaanku menunggui Papa. Aku kemudian meninggalkan Papa untuk tidur.Sorenya, ketika mandi, aku minta Pap memandikanku. Aku berfikir kalau Papa bisa dengan penuh kasih sayang memandikan mobil atau motornya, pasti Papa akan lebih penuh kasih saat memandikanku. Ternyata pikiranku meleset. Papa memandikanku dengan terburu-buru, sehingga aku lebih banyak merasakan kasarnya tangan Papa ketimbang kelembutannya. Papa memandikanku sambil sekali-sekali melihat jam, katanya Papa ada janji dengan seseorang sore ini.Jam 19.00 Papa sudah kembali, aku berharap malam ini keinginanku untuk bermain bersama Papa terpenuhi. Setelah makan malam, Papa lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengobrol bersama Mama membahas hal-hal yang tak kumengerti. Jika sekali-kali aku mendekati Papa, Papa secara halus mengusirku agar jangan mendekat dan mengarahkanku untuk bermain bersama Mbak Yah, demikian pula Mama. Aku selalu menunggu sampai Papa punya waktu untuk bermain bersamaku, tetapi sampai mataku terpejam, waktu itu tidak pernah kudapatkan. Demikian seterusnya setiap Papa di rumah.Aku tidak pernah ingat sejak kapan Papa memperlakukanku demikian. Yang jelas sejak kami punya rumah sendiri, punya mobil, motor, dan segala materi yang ada di rumah. Aku merasa, bagi Papa, aku tidak lebih berharga dari barang-barang miliknya. Papa pulang bukan untuk aku, tetapi untuk motor, mobil, rumah, dan semua barang kesayangannya. Itu berarti Papa pulang bukan karena kangen dengan aku ‘kan ? Itulah alasanku mengapa aku menjauhi Papa, karena aku tidak mau menunggu untuk kemudian kecewa. Aku tidak tahu kalau tindakanku membuat Mama sedih dan menangis. Seharusnya Mama memahamiku, bukankah Mama bahkan siapapun juga tidak mau dikecewakan ? Jadi dimana letak kesalahanku ?