Kamis, 30 Juli 2009

Papa Tidak kangen aku lagi


Papa Tidak Kangen Aku…!!!

“Kring…..,” bunyi telepon dirumahku berdering malam itu mengagetkan aku dan Mbak Yah yang sedang menemaniku belajar membaca. Mama sedang menidurkan adikku di kamar.“Yah….Angkat teleponnya!” teriak ibu dari dalam kamar. “Ya Bu….,” begitu jawaban Mbak yah pembantu di rumahku sambil berlari mendekati telepon.Gagang telepon diangkat oleh Mbak yah dan “Halo… oh… Bapak,” mendengar kata “Bapak” yang diucapkan Mbak Yah membuatku malas meneruskan belajar dan memilih lari ke kamar tidur. Dari dalam kamar aku mendengar Mama berbincang-bincang dengan Papa di telepon, kadang-kadang namaku disebut oleh Mama. Tidak lama aku mendengar suara Mama memanggilku: “Cindy…. Ini Papa mau bicara sayang…” aku diam dan pura-pura tidur. Lalu aku dengar Mama bicara lagi sama Papa, “Pa…. Cindy sudah tidur, besok lagi saja ya….Aku mendengar langkah Mama mendekat dan aku lantas memejamkan mataku. Mama mendekat dan duduk di ranjangku, aku tetap diam. Kemudian aku mendengar Mama berkata, “Cindy, Cindy belum tidurkan ?” Tanpa pikir panjang aku menjawab, “Sudah Ma….” Lalu Mama berkata lagi, “Cindy, kamu itu lucu nak, mana ada orang tidur bisa bicara. Ayo bangun, Mama ingin bicara. ” Dengan malas aku memutar tubuhku, sehingga menghadap ke Mama. Mama memberiku isyarat agar aku duduk, tetapi aku tidak beranjak.Malam ini Mama tidak seperti biasanya, wajahnya kelihatan kecut dan tidak tampak ada senyuman seperti biasa jika mengantarkan aku tidur. Tiba-tiba aku menjadi takut kepada Mama. “Bangun dan duduk manis!” kata-kata Mama begitu tegas memaksaku untuk menuruti perintahnya. “Cindy masih sayang Papa ?” pertanyaan Mama memojokkanku membuat aku tidak bisa menjawab. Diulangnya pertanyaan yang sama dengan nada yang makin meninggi. Untuk menghindari hukuman aku mengangguk. “Kalau Cindy sayang Papa, mengapa Cindy tidak pernah mau menerima telepon Papa ? pura-pura tidur, ke WC, atau ke mana lagi, semua itu untuk menghindari Papa kan ?” aku menggeleng.Sejenak Mama diam, dari ujung mata aku mencuri memandangi Mama. Aku sadar, bahwa Mama benar-benar marah malam ini. Mata Mama berkaca-kaca seolah menaham kesedihan. Sambil terbata-bata Mama berbicara tanpa melihat kearahku. “Cindy kan tahu, kita jarang ketemu Papa karena Papa tugas di lapangan. Apa Cindy tidak kasihan sama Papa ? Papa kan kangen sama kamu nak, Papa hanya ingin mendengar suaramu! Mama sedih melihat Cindy selalu menghindari Papa.” Endah mengapa aku jadi ikut menangis. Aku menangis, karena iba melihat Mama menangis, bukan karena kasihan sama Papa lho!Sejak malam itu aku selalu memaksakan diri untuk mau berbicara sama Papa di telepon. Seharusnya Papa dan Mama tahu, bahwa aku terpaksa karena sulit bagiku untuk berpura-pura senang. Jika saja Mama dan Papa mau mendengar keluh kesahku dan memberiku kesempatan untuk bicara tentang alasanku menjauhi Papa, mungkin Papa dan Mama bisa memahamiku, atau…. junstru marah padaku!Kadang-kadang disaat aku sedang berduaan dengan Mama, ingin rasanya aku menceritakan semua perasaanku terhadap Papa. Aku bosan menerima telepon Papa karena yang diucapkan Papa selalu sama “Cindy sekarang sudah punya adik lho, jadi Cindy sudah besar,” atau “Cindy harus bantu Mama merawat adik ya….,” atau “Cindy tidak boleh nakal lho….,” dan selalu diakhiri dengan kalimat “Papa kangen banget sama Cindy.Papa bohong besar! Kangen Papa hanya di telepon. Nyatanya setiap Papa pulang, Cindy hanya dapat pelukan dan ciuman dua kali, sekali waktu datang dan sekali saat Papa mau berangkat tugas lagi.Setiap Papa pulang, Papa lebih sibuk ngurus motor dan mobilnya ketimbang menemani aku bermain. Pernah suatu ketika aku ajak Papa bermain. Pada waktu itu Papa sedang mengutak-atik mesin mobilnya. Tanpa melihat ke arahku Papa menjawab ajakanku dengan kalimat : “Sebentar ya sayang, kalau Papa sudah selesai.Aku setia menunggui Papa bekerja dengan mesin mobilnya. Ketika Papa menutup kap mobilnya, hatiku berbunga-bunga karena itu berarti Papa siap untuk bermain denganku. Dengan sigap kutangkap tangan Papa untuk kuajak bermain, tetapi Papa malah menghindar dengan alasan tangannya kotor dan harus dicuci dahulu. Aku melihat Papa menuju wastafel, Aku berfikir, bahwa Papa akan segera mencuci tangannya dan menemaniku bermain. Ketika beberapa saat Papa belum muncul, aku kemudian menyusul Papa dan astaga apa yang dilakukan Papa ? Papa sedang membersihkan wastafel dan membuka kran air di wastafel tersebut.Melihat kedatanganku, Papa langsung berkata, “Sabar ya nak, Papa lagi benerin kran supaya tidak bocor. Aku menunggui Papa sampai beberapa saat, tetapi ternyata rasa kantukku mengalahkan kesetiaanku menunggui Papa. Aku kemudian meninggalkan Papa untuk tidur.Sorenya, ketika mandi, aku minta Pap memandikanku. Aku berfikir kalau Papa bisa dengan penuh kasih sayang memandikan mobil atau motornya, pasti Papa akan lebih penuh kasih saat memandikanku. Ternyata pikiranku meleset. Papa memandikanku dengan terburu-buru, sehingga aku lebih banyak merasakan kasarnya tangan Papa ketimbang kelembutannya. Papa memandikanku sambil sekali-sekali melihat jam, katanya Papa ada janji dengan seseorang sore ini.Jam 19.00 Papa sudah kembali, aku berharap malam ini keinginanku untuk bermain bersama Papa terpenuhi. Setelah makan malam, Papa lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengobrol bersama Mama membahas hal-hal yang tak kumengerti. Jika sekali-kali aku mendekati Papa, Papa secara halus mengusirku agar jangan mendekat dan mengarahkanku untuk bermain bersama Mbak Yah, demikian pula Mama. Aku selalu menunggu sampai Papa punya waktu untuk bermain bersamaku, tetapi sampai mataku terpejam, waktu itu tidak pernah kudapatkan. Demikian seterusnya setiap Papa di rumah.Aku tidak pernah ingat sejak kapan Papa memperlakukanku demikian. Yang jelas sejak kami punya rumah sendiri, punya mobil, motor, dan segala materi yang ada di rumah. Aku merasa, bagi Papa, aku tidak lebih berharga dari barang-barang miliknya. Papa pulang bukan untuk aku, tetapi untuk motor, mobil, rumah, dan semua barang kesayangannya. Itu berarti Papa pulang bukan karena kangen dengan aku ‘kan ? Itulah alasanku mengapa aku menjauhi Papa, karena aku tidak mau menunggu untuk kemudian kecewa. Aku tidak tahu kalau tindakanku membuat Mama sedih dan menangis. Seharusnya Mama memahamiku, bukankah Mama bahkan siapapun juga tidak mau dikecewakan ? Jadi dimana letak kesalahanku ?

Rabu, 29 Juli 2009

Ita Kecil


Sepasang suami isteri --seperti pasangan lain di kota-kota besar-- meninggalkan anak-anak diasuh pembantu rumah saat bekerja. Anak tunggal keluarga ini, perempuan, berusia tiga setengah tahun, bersendirian di rumah. Acap dia bermain, asyik dengan dunianya sendiri, diabaikan pembantu yang juga sibuk membersihkan rumah.
Bermainlah dia, berayun-ayun di atas buaian yang dibeli papanya, ataupun memetik bunga, mengejar capung, di halaman luas rumahnya, dengan pagar yang selalu terkunci. Suatu hari, dia melihat sebatang paku berkarat. Tertarik, dia pun mencoret lantai garasi. Tapi, karena lantainya terbuat dari marmer, coretan tidak kelihatan. Tak putus asa, coretan dia pindahkan ke mobil ayahnya, yang baru datang sebulan lalu, mobil mewah berwarna hitam. Coretannya pun tampak jelas. Dia gembira, dengan tanpa lelah, dia tarik garis-garis putih sepanjang mobil itu, dan dia bayangkan, "papa akan senang, mama akan senang..." Ia tahu, menjelang sore, ayahnya akan datang, dengan ibu, sehabis menghadiri undangan. Setelah penuh coretan sisi sebelah kanan, dia beralih ke sebelah kiri mobil. Dia gambar wajah ibu dan ayahnya, gambarnya sendiri, lukisan ayam, kucing dan lain sebagainya mengikut imajinasinya. Kejadian itu berlangsung tanpa disadari si pembantu rumah.
Pulang petang itu, terkejut orang tua si anak ini, melihat mobil yang baru dibeli dengan krediti itu, sudah penuh cacat. Si bapak yang belum lagi masuk ke rumah ini pun terus menjerit, "Kerjaan siapa ini?!"
Pembantu rumah yang tersentak dengan jeritan itu berlari keluar. Dia juga beristighfar. Wajahnya merah padam ketakutan saat melihat wajah bengis tuannya. Sekali lagi, dia mendengar pertanyaan itu, lebih keras, dan dengan gugup, dia menunduk, "Tidak tahu, Pak..."
"Tak tahu?! Kamu di rumah sepanjang hari, apa saja yang kau lakukan?" hardik si isteri lagi.
Si anak yang mendengar suara ayahnya, tiba-tiba berlari keluar dari kamarnya. Dengan penuh manja dia berkata, "Ita yang membuat itu abahhh... cantik kan!" katanya sambil memeluk abahnya, ingin bermanja seperti biasa. Si ayah yang hilang kesabaran mengambil sebatang ranting kecil dari pohon bunga raya di depannya, terus dipukulkannya berkali-kali ke telapak tangan anaknya. Si anak yang tak mengerti apa-apa itu, melolong, kesakitan dan ketakutan.
Puas memukul telapak tangan, si ayah memukul pula punggung tangan anaknya. Si ibu cuma mendiamkan, seolah merestui dan merasa puas dengan hukuman itu. Pembantu rumah terbengong, tidak tahu harus berbuat apa? Si bapak cukup rakus memukul-mukul tangan kanan dan kemudian tangan kiri anaknya. Setelah si bapak masuk ke rumah dituruti si ibu, pembantu rumah menggendong anak kecil itu, membawanya ke kamar. Dilihatnya telapak tangan dan punggung tangan si anak, luka kecil dalam, berdarah.
Pembantu rumah memandikan anak kecil itu. Sambil membersihkan luka itu, dia ikut menangis. Anak kecil itu juga terjerit-jerit menahan kepedihan saat luka-lukanya itu terkena air. Si pembantu rumah kemudian menidurkan anak kecil itu di kamarnya.
Si ayah, juga si ibu, seakan tak begitu perduli. Keesokkan harinya, kedua-dua belah tangan si anak bengkak. Pembantu rumah mengadu. "Oleskan obat saja!" jawab tuannya. Pulang dari kerja, dia tidak bertanya lagi tetnang anaknya, yang biasa selalu menyambutnya dengan pelukan. Ia biarkan anaknya di kamar pembantu. Si bapak mungkin ingin mengajar anaknya. Tiga hari berlalu, tak pernah sekali pun dia menjenguk si anak. Si ibu pun sama, hanya sesekali bertanya kepada pembantu.
"Ita demam, Bu... " jawap pembantunya ringkas.
"Kasih minum panadol," jawab si ibu.
Sebelum masuk kamar tidur dia menjenguk kamar pembantunya. Saat dia lihat Ita dalam pelukan pembantu rumah, dia menutup lagi pintu kamar pembantunya. "Biar Ita tahu dia telah melakukan kesalahan," bisiknya.
Masuk hari keempat, pembantu rumah memberitahukan tuannya bahwa suhu badan Ita terlalu panas. "Sore nanti kita bawa ke klinik. Pukul 5.00 tepat," kata majikannya itu, santai.
Sore itu, Ita pun di bawa ke dokter. Tapi, dokter klinik langsung merujuk ke rumah sakit karena keadaan yang kian serius. Setelah seminggu di rawat inap, dokter memanggil bapak dan ibu anak itu.
"Tidak ada pilihan lagi," katanya, dengan suara yang putus asa. Dokter mengusulkan agar kedua tangan anak itu diamputasi karena luka yang terjadi sudah terlalu parah. "Lukanya sudah bernanah, parah. Demi menyelamatkan nyawanya kedua tangannya perlu dipotong dari siku ke bawah," jelas dokter.
Si bapak dan ibu bagaikan terkena halilintar mendengar kata-kata itu. Terasa dunia berhenti berputar. Tapi apa yang dapat mereka katakan. Si ibu meraung merangkul si anak. Dengan berat hati dan lelehan air mata isterinya, si bapak seperti orang gila, menangis tersedu-sedu saat menandatangani surat persetujuan amputasi.
Dalam siksaan menahan sakit, si anak bersuara dalam linangan air mata. "Abah.. Mama... Ita tidak akan melakukannya lagi. Ita tak mau ayah pukul. Ita tak mau jahat. Ita sayang abah.. sayang mama." katanya berulang kali membuatkan si ibu gagal menahan rasa sedihnya. "Ita juga sayang Kak Narti.." katanya memandang wajah pembantu rumah, sekaligus membuatkan gadis itu meraung histeris. "Abah.. kembalikan tangan Ita. Untuk apa ambil.. Ita janji tidak akan mengulanginya lagi! Bagaimana caranya Ita mau makan nanti? Bagaimana Ita mau bermain nanti? Ita janji tidak akan mencoret-coret mobil lagi," katanya berulang-ulang. Serasa copot jantung si ibu mendengar kata-kata anaknya. Meraung-raung dia sekuat hati namun takdir yang sudah terjadi, tiada manusia dapat menahannya.