Selasa, 18 Agustus 2009

Untuk Para Ayah



http://www.eramuslim.com

Publikasi: 26/04/2005 09:00 WIB






eramuslim - "Sini nak, sun tangan dulu sama abi," sambil membetulkan kaus kaki yang sedang dikenakannya ia memanggil ke dua putrinya yang tengah asyik di depan TV. Ada serial Dora, acara favorit mereka. Mendengar panggilan sang Ayah, dua balita itu berebut ke arahnya. Senyuman lelaki itu terkembang, tanpa menunggu waktu, setelah sun tangan, anak-anak kecil itu diberikan kecupan, tak cukup, satu persatu ia mengangkat tubuh si kecil dan didekapnya agak lama.

"Abi pergi dulu, nanti main sama teteh yah...", ia pun pamit diiringi langkah-langkah kecil ke dua puterinya. Di pintu gerbang, sang Ayah melambaikan tangan dan melemparkan sun jauh, masih ada senyum hangat di sana. Pagi baru saja beranjak. Sebetulnya ia masih ingin bercengkrama dengan mereka. Anak pertamanya sekarang sudah mulai lancar berbicara. Ia tidak berkerut lagi untuk mencerna perkataan putrinya. Dan adiknya sudah pandai berjalan, meski kadang beberapa kali harus tersungkur karena masih kurang keseimbangan. Dua-duanya perempuan. Lucu-lucu.

Jika sudah bermain dengan mereka, ia seperti mendapatkan banyak kenikmatan. Binar itu sungguh jelas menelaga di matanya. Maka, meninggalkan mereka menjadi hal yang memberatkannya. Hari ini, seperti kemarin dan kemarinnya lagi, besok dan selanjutnya, pergi untuk waktu yang lama, berada di luar rumah meraup nafkah halal adalah kewajiban yang tidak mungkin dilalaikannya. Ia sering kehilangan waktu berharga dengan mereka. Tetapi, bukankah yang dilakukannya juga adalah sebentuk cinta penuh makna untuk dua permata hatinya?

***

Para Ayah, mungkin adalah orang-orang yang mempunyai konsekuensi jauh dari anak-anak. Ya, karena umumnya seorang ayah harus berada di luar rumah dalam waktu yang lama untuk memenuhi tanggung jawabnya dalam hal mencari nafkah keluarga. Untuk para ayah yang bekerja di kota besar, pergi pagi --bahkan jauh sebelum matahari terbit-- pulang larut adalah hal yang teramat biasa. Sudah lumrah malah, ketika akan ke kantor anak-anak masih bergumul di peraduan, dan pada saat pulang pun ia mendapati anak-anaknya sudah jatuh di ujung lelap. Bahkan, salah seorang rekan kerja, seringkali berhari-hari tidak pulang untuk urusan pekerjaan yang harus diselesaikannya di kantor. Pertemuan dengan anak-anak mungkin hanya saat si ayah libur bekerja.

Berbeda dengan ibu --jika tidak bekerja-- yang setiap hari bisa mengurus secara langsung buah hatinya. Mulai dari bangun tidur, memandikan, urusan makanan, hingga persoalan sekolah dan tetek bengek keperluan sang anak. Ibulah yang secara fisik berhubungan dengan mereka. Maka, tak heran anak cenderung lebih dekat dengan ibu, dan biasanya ibulah yang menjadi tempat curhat anak-anaknya ketika mereka dihadapkan dengan berbagai masalah.

Padahal, kedekatan ayah dan anak sungguh sangat diperlukan. Tanggung jawab ayah tidak hanya sebatas bekerja mencari uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Pemenuhan kebutuhan itu hanya sebatas pada fisik saja, tidak secara emosi. Anak-anak bukanlah robot, ia adalah manusia yang mempunyai hati dan jiwa. Anak-anak adalah amanah dari Allah SWT. Ia butuh kasih sayang, perhatian dan bimbingan. Jiwanya perlu pengarah. Hatinya tak akan kaya hanya diberi berlimpah materi. Ia butuh sentuhan dan kehangatan. Dan semua kebutuhan ini tidak boleh hanya dipenuhi dari ibunya saja. Peran ayah tidak kalah penting. Menurut para pakar psikologi keluarga, sosok ayah berpengaruh terhadap konsep diri sang anak kelak. Anak butuh keduanya. Sentuhan ibu dan arahan Ayah.

Tapi bagaimana dengan masalah waktu yang dimiliki sang Ayah? Jarangnya ayah di rumah tentunya mengurangi interaksi dengan mereka. Ini bukan alasan, hal tersebut bisa disiasati. Karena sesungguhnya, yang paling penting adalah kualitas pertemuan bukan hanya kuantitasnya. Ketika ada kesempatan berdekatan dengan sang anak, sebaiknya para ayah memanfaatkan waktu sebaik mungkin, menanyakan keadaan mereka, bermain-main, hingga membantu anak-anak mengerjakan PR atau hal sepele lainnya. Dalam kesempatan bertemu dengan mereka, ajarkan nilai-nilai dan akhlak yang baik.

Sesungguhnya kedekatan itu bisa dibangun dengan berbagai cara, tidak hanya secara fisik berdekatan dengan mereka. Toh, ketika mempunyai banyak waktu di rumah tetapi perhatian ayah hanya kepada urusan kerja, tentu tidak akan ada artinya. Jika ayah tidak bisa memantau perkembangan anak-anak secara langsung, ia bisa bertanya kepada istrinya, ayah bisa meluangkan waktu walau hanya sebentar untuk berkomunikasi entah melalui telpon, pesan sms atau fasilitas lainnya. Intinya ayah selalu tahu perkembangan anak-anak yang diamanahkan Allah kepadanya.

Dan ada yang jauh lebih bermakna. Dalam setiap sujud di waktu shalat, dalam keheningan sepertiga malam terakhir, dalam setiap waktu luang dan lengang, sempatkan menengadah pinta kepada Yang Maha Kuasa, mengurai berbagai harap kepada Allah, tentang kebaikan sang anak. Membawa anak-anak dalam setiap doa, bisa jadi sebuah sarana pembangun kedekatan antara anak dan ayah yang paling indah.

Wallahu a'lam

Husnul Mubarikah

Duhai Bunda, kasihilah Anakmu


Oleh : Hafizah Nur

Eramuslim. 5 Sep 06 11:41 WIB
Pagi itu cerah. Saya sedang menikmati dua jam perjalanan menuju Tokyo. Di kala orang-orang bergegas berangkat ke kantor atau ke sekolah. Kereta selalu penuh di saat itu. Tetapi berpergian ke tempat yang cukup jauh dari tempat saya tinggal selalu membuat anak-anak ceria. Saya pun terbawa ke alam keceriaan mereka.

Saya duduk di ujung gerbong, tempat untuk orang-orang khusus. Di setiap kereta di Jepang, ada bangku khusus untuk orang tua, ibu hamil, orang sakit atau yang cedera berat, dan ibu-ibu yang membawa anak kecil. Suatu wujud kepedulian pemerintah Jepang terhadap warganya yang lemah. Inilah tempat pavorit saya yang senantiasa membawa dua balita kala berpergian. Beberapa meter di sebelah kanan saya, duduk juga seorang ibu muda dengan dua anak balitanya. Usianya sama dengan usia anak-anak saya. Yang besar sekitar tiga atau empat tahun, dan yang kecil sekitar satu tahun. Dua anak yang lucu dan menggemaskan bagi yang melihatnya. Anak pertamanya duduk dengan manis di samping sang ibu, sedang yang lebih kecil duduk dipangkuan ibunya.

Suasana tenang saat itu, sampai tiba-tiba, ”Dame Yo!!”* Suara hardikan terdengar dari bangku ibu tadi. Saya dan beberapa orang penumpang menoleh ke arahnya. Balita satu tahunnya sedang berusaha memainkan kalung sang ibu. Mungkin ia bosan dengan perjalanan panjangnya. Anak itu diam sebentar. Beberapa saat kemudian kembali mengajak sang ibu bermain. “Dame!! Duduk yang baik!!” Kali ini suara bentakan lebih keras terdengar. Sang ibu terlihat lelah dan ingin memejamkan matanya, tetapi terganggu dengan tingkah sang balita. Kali ini anak itu agak lama menghentikan aksinya. Tapi kemudian ia kembali berusaha memainkan kalung ibunya. “Naoko chan*, jangan mengganggu!!!” kali ini sang ibu benar-benar marah.

Dengan kasar Ia meletakkan balitanya di sampingnya, di dekat sang kakak. Anaknya menangis keras, dan berusaha untuk kembali ke pangkuan ibunya. Dengan kasar ditepisnya tangan anak itu. Ternyata sang kakak juga berusaha membantu ibunya dengan menekan tubuh adiknya ke belakang. Tangis anak itu semakin keras. Tapi sang ibu tetap tak mau mengangkatnya. Dan tak mencoba menolongnya dari tekanan sang kakak. Lama anak itu menangis, sampai akhirnya lelah dan tertidur.

Saya menahan nafas selama episode itu berlangsung. Ada rasa nyeri di dada melihat seorang anak usia satu tahun yang bosan, dan ingin mengajak main sang ibu, tetapi harus kecewa dengan kekasaran yang diterimanya. Ah, seringkah sang anak mendapat perlakuan kasar tersebut? Atau saat itu adalah situasi khusus yang mebuat sang ibu tidak ingin diganggu oleh tingkah sang anak? Sebagai ibu dari dua anak, saya juga bisa memahami kelelahannya dalam menyiapkan perjalanan dan mengurus anak-anak. Tetapi memperlakukan anak usia satu tahun dengan sangat kasar adalah satu hal yang tidak bisa saya terima.

Sering juga saya melihat hal-hal semacam itu. Tidak hanya di Jepang, di Indonesia pun sering saya menyaksikan orang tua yang dengan tega membentak, mencubit atau memukul anaknya yang masih kecil. Bahkan kadang kala hukuman itu tak sebanding dengan kesalahan yang diperbuat sang anak. Meskipun sang anak sama sekali tidak tahu bahwa itu suatu kesalahan. Di benak sang anak mungkin hanya ingin bermain atau bereksplorasi. Sesuatu yang wajar di dunia anak-anak.

Saya teringat kisah baginda Rasulullah. Ketika beliau sedang menimang seorang bayi, lalu bayi itu buang air kecil di baju Rasulullah. Dengan kasar sang ibu mengambil anak itu dari tangan Rosulullah. Ia marah karena anaknya yang masih bayi mengotori baju Rasulullah dengan najisnya. Saat itu Rasulullah berkata, “Wahai ibu,

Najis anakmu ini mudah untuk dibersihkan, tetapi kekeruhan jiwanya akibat kekasaranmu sulit untuk dihilangkan”. Teringat juga betapa Rasulullah sangat sabar terhadap kedua orang cucu beliau, Hasan dan Husein. Ketika Rasulullah sholat, dengan sabar beliau memperlama sujudnya, agar kedua cucunya bisa puas bermain di atas punggung beliau.

Betapa lembutnya Rasulullah memperlakukan anak-anak. Dan betapa perhatiannya Rasulullah akan perkembangan jiwa seorang anak. Baginda Rasulullah tahu, kekasaran seorang ibu kepada anak akan merusak perkembangan jiwanya. Mencabut keceriaan anak akan membuat anak menjadi pribadi yang kasar dan berjiwa sempit.

Perkembangan psikologi saat ini juga membuktikan betapa pentingnya bersikap lembut kepada anak-anak. Kemampuan orang tua dalam memahami keinginan anak, mengerti emosi apa yang sedang dirasakan anak, dan berusaha menyenangkan hati anak, berefek positif dalam memupuk kepribadian anak. Menjadikan anak sebagai seorang yang percaya diri karena merasa diterima oleh lingkungannya. Semoga banyak orang tua yang semakin menyadari hal ini, agar banyak anak bisa berkembang sesuai dengan fitrahnya, ceria dan penuh percaya diri. Menjadi pribadi yang sehat ketika dewasa nanti.

Dame: jangan
chan: panggilan khas untuk anak-anak anggota flp Jepang

8 Kado Terindah




Aneka kado ini tidak dijual di toko. Anda bisa menghadiahkannya setiap saat, dan tak perlu membeli ! Meski begitu, delapan macam kado ini adalah hadiah terindah dan tak ternilai bagi orang-orang yang Anda sayangi.




  1. KEHADIRAN
    Kehadiran orang yang dikasihi rasanya adalah kado yang tak ternilai harganya. Memang kita bisa juga hadir dihadapannya lewat surat, telepon, foto atau faks. Namun dengan berada disampingnya, Anda dan dia dapat berbagi perasaan, perhatian, dan kasih sayang secara lebih utuh dan intensif. Dengan demikian, kualitas kehadiran juga penting. Jadikan kehadiran Anda sebagai pembawa kebahagiaan.
  2. MENDENGAR
    Sedikit orang yang mampu memberikan kado ini, sebab, kebanyakan orang lebih suka didengarkan, ketimbang mendengarkan. Sudah lama diketehui bahwa keharmonisan hubungan antar manusia amat ditentukan oleh kesediaan saling mendengarkan. Berikan kado ini untuknya. Dengan mencurahkan perhatian pada segala ucapannya, secara tak langsung kita juga telah menumbuhkan kesabaran dan kerendahan hati. Untuk bisa mendengar dengan baik, pastikan Anda dalam keadaan betul-betul relaks dan bisa menangkap utuh apa yang disampaikan. Tatap wajahnya. Tidak perlu menyela, mengkritik, apalagi menghakimi. Biarkan ia menuntaskannya. Ini memudahkan Anda memberi tanggapan yang tepat setelah itu. Tidak harus berupa diskusi atau penilaian. Sekedar ucapan terima kasihpun akan terdengar manis baginya.
  3. DIAM
    Seperti kata-kata, di dalam diam juga ada kekuatan. Diam bisa dipakai untuk menghukum, mengusir, atau membingungkan orang. Tapi lebih dari segalanya. Diam juga bisa menunjukkan kecintaan kita pada seseorang karena memberinya "ruang". Terlebih jika sehari-hari kita sudah terbiasa gemar menasihati, mengatur, mengkritik bahkan mengomeli.
  4. KEBEBASAN
    Mencintai seseorang bukan berarti memberi kita hak penuh untuk memiliki atau mengatur kehidupan orang bersangkutan. Bisakah kita mengaku mencintai seseorang jika kita selalu mengekangnya? Memberi kebebasan adalah salah satu perwujudan cinta. Makna kebebasan bukanlah, "Kau bebas berbuat semaumu." Lebih dalam dari itu, memberi kebebasan adalah memberinya kepercayaan penuh untuk bertanggung jawab atas segala hal yang ia putuskan atau lakukan.
  5. KEINDAHAN
    Siapa yang tak bahagia, jika orang yang disayangi tiba-tiba tampil lebih ganteng atau cantik ? Tampil indah dan rupawan juga merupakan kado lho. Bahkan tak salah jika Anda mengkadokannya tiap hari ! Selain keindahan penampilan pribadi, Anda pun bisa menghadiahkan keindahan suasana di rumah. Vas dan bunga segar cantik di ruang keluarga atau meja makan yang tertata indah, misalnya.
  6. TANGGAPAN POSITIF
    Tanpa sadar, sering kita memberikan penilaian negatif terhadap pikiran, sikap atau tindakan orang yang kita sayangi. Seolah-olah tidak ada yang benar dari dirinya dan kebenaran mutlak hanya pada kita. Kali ini, coba hadiahkan tanggapan positif. Nyatakan dengan jelas dan tulus. Cobalah ingat, berapa kali dalam seminggu terakhir anda mengucapkan terima kasih atas segala hal yang dilakukannya demi Anda. Ingat-ingat pula, pernahkah Anda memujinya. Kedua hal itu, ucapan terima kasih dan pujian (dan juga permintaan maaf), adalah kado cinta yang sering terlupakan.
  7. KESEDIAAN MENGALAH
    Tidak semua masalah layak menjadi bahan pertengkaran. Apalagi sampai menjadi cekcok yang hebat. Semestinya Anda pertimbangkan, apa iya sebuah hubungan cinta dikorbankan jadi berantakan hanya gara-gara persoalan itu? Bila Anda memikirkan hal ini, berarti Anda siap memberikan kado "kesediaan mengalah". Okelah, Anda mungkin kesal atau marah karena dia telat datang memenuhi janji. Tapi kalau kejadiannya baru sekali itu, kenapa mesti jadi pemicu pertengkaran yang berlarut-larut ? Kesediaan untuk mengalah juga dapat melunturkan sakit hati dan mengajak kita menyadari bahwa tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini.
  8. SENYUMAN
    Percaya atau tidak, kekuatan senyuman amat luar biasa. Senyuman, terlebih yang diberikan dengan tulus, bisa menjadi pencair hubungan yang beku, pemberi semangat dalam keputus asaan. Pencerah suasana muram, bahkan obat penenang jiwa yang resah. Senyuman juga merupakan isyarat untuk membuka diri dengan dunia sekeliling kita. Kapan terakhir kali anda menghadiahkan senyuman manis pada orang yang dikasihi ?

Sumber : www.dudung.net

Ketika Harus Menghukum Anak


http://www.hidayatullah.com/majalah/data.php?id=224

Edisi 10/XV 2003 - Jendela Keluarga - Kolom Fauzil Adhim
Oleh : Mohammad Fauzil Adhim





Inilah riwayat Bukhari. Husain, cucu Nabi yang masih kecil ketika itu, mengambil sebiji kurma sedekah. Ia masukkan ke dalam mulutnya. Begitu mengetahui, Nabi Saw. segera mengeluarkan kurma itu dari mulut cucunya. Haram bagi keluarga Nabi makan sedekah. Karenanya, Nabi Saw. segera bertindak agar tak ada harta haram yang tertelan oleh cucunya.

Kisah yang diriwayatkan oleh Bukhari ini mengajarkan kepada kita tentang beberapa hal. Di dalamnya ada pelajaran tentang kehati-hatian dalam memakan harta agar tak terjatuh dalam dosa dan syubhat. Di dalamnya ada pelajaran tentang tarbiyah; seorang anak perlu belajar menjauhi yang haram meskipun perbuatan mereka belum dihisab, sehingga tak ada dosa bagi mereka. Di dalamnya juga terdapat contoh tentang ketegasan. Nabi adalah orang yang paling sayang kepada anak-anak dan cucunya. Tetapi besarnya kasih-sayang, tidak menghalangi Nabi Saw. untuk menunjukkan ketegasannya.

Kisah tentang kurma ini hanyalah satu di antara sekian banyak hadis yang menceritakan kepada kita tentang bagaimana Nabi Saww. mendidik anak. Sepanjang yang mampu saya pahami, ada perbedaan cara dalam menyikapi perilaku anak. Nabi Saw. melarang orangtua memarahi anak yang memecahkan piring karena segala sesuatu ada ajalnya, termasuk piring. Nabi Saw. juga pernah menegur sahabat yang melarang anak kecil bermain pasir. Ketika Ummu Al-Fadhl merenggut anaknya secara kasar karena pipis di dada Nabi Saw., dengan tegas beliau menegur, “Pakaian yang kotor ini dapat dibersihkan dengan air. Tetapi apa yang dapat menghilangkan kekeruhan jiwa anak ini akibat renggutanmu yang kasar?”

Sejauh kesalahan itu tidak berkaitan dengan hak orang lain, atau berhubungan dengan halal dan haram, Nabi Saw. menunjukkan sikap yang lunak. Tetapi Nabi Saw. segera mengambil sikap yang tegas ketika itu menyangkut hak orang lain. Besarnya penghormatan Nabi Saw. terhadap hak, tampak semakin jelas bila kita mengingat satu peristiwa yang diriwayatkan oleh Bukhari & Muslim:

Dari Sahl bin Sa’ad r.a., Rasulullah Saw. pernah disuguhi minuman. Beliau meminumnya sedikit. Di sebelah kanan beliau, ada seorang anak kecil dan di sebelah kiri duduk para orangtua. Beliau bertanya kepada anak kecil itu, “Apakah engkau rela jika minuman ini aku berikan kepada mereka?” Anak kecil itu menjawab, “Aku tidak rela, ya Rasul Allah, demi Allah, aku tidak akan memperkenankan siapa pun merebut bagianku darimu.” Rasulullah Saw. meletakkan minuman itu ke tangan anak kecil tersebut. (HR. Bukhari dan Muslim).

Jika Rasulullah Saw. memberi penghormatan kepada hak anak yang masih kecil sekalipun, kita justru sangat sering mengabaikannya dengan alasan mendidik mereka untuk menjadi dermawan. Kita sering merampas hak-hak mereka. Mereka memang mau memberi, tetapi bukan karena dorongan dalam hati, melainkan karena tak kuasa menghadapi desakan orangtua. Mereka mengalah karena tak berdaya, sehingga saat mereka beranjak dewasa, kita dikejutkan oleh sikap mereka yang keras kepala, mau menang sendiri, dan tidak mau peduli dengan orang lain. Khairul kalam kalamullah, khairul huda huda Muhammad. Sebaik-baik perkataan adalah firman Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Muhammad Saw.

Di balik penghormatan Nabi Saw. kepada hak anak, ternyata ada kebaikan yang sangat besar. Ketika hak mereka dijaga, mereka akan belajar menemukan rasa aman. Mereka juga belajar menghormati hak orang lain. Inilah jalan yang memudahkan mereka untuk mengalah secara sadar dengan memberikan haknya kepada orang lain. Dan sejarah telah mengajarkan kepada kita, generasi didikan Nabi lah yang benar-benar memiliki akhlak menakjubkan. Bukan generasi kita, ketika psikologi dan ilmu pendidikan berkembang luar biasa.

Ya Allah..., alangkah beringasnya kita kepada anak, padahal kita mengaku ummat Muhammad. Hanya karena lupa baca basmalah ketika makan, seorang bapak memukul tangan anaknya keras-keras. Ia menghukum karena tidak ingin anaknya menyepelekan agama, tetapi ia lupa bahwa sikap seperti itu dapat menyebabkan anak menyimpan anggapan yang buruk kepada agamanya. Padahal agama sendiri telah memberi kemudahan. Kalau lupa baca basmalah, cukuplah kita membaca, “Bismillahi awaluhu wal akhiruhu.”

Bercermin pada Nabi, kita perlu memilah cara bersikap kepada anak. Inilah bagian tersulit yang saya rasakan. Terlebih jika kita terbiasa bertindak impulsif dalam menyikapi perilaku anak, terutama perilaku yang kita anggap sebagai kenakalan. Padahal sikap selektif yang konsisten dalam menghukum anak, merupakan kunci agar tindakan kita benar-benar efektif. Memberi hukuman kepada anak dalam bentuk yang sama dengan tingkat yang sama pula untuk setiap bentuk kesalahan, justru dapat membuat hukuman tidak efektif. Apalagi kalau kita menghukum anak tanpa ada tolok ukur yang jelas. Berat ringannya hukuman semata-mata berdasarkan suasana hati kita.

Alhasil, persoalannya terletak pada bagaimana kita memberi hukuman. Menghukum dengan cara yang tidak tepat, bisa membuat anak merasa dilecehkan. Anak merasa orangtua sewenang-wenang, kejam, seenaknya sendiri dan sejumlah perasaan negatif lainnya. Anak bisa merasa dibeda-bedakan dengan saudaranya yang lain. Akibat lain dari hukuman yang tidak tepat, anak bisa menjadi minder, penakut atau bahkan pengecut. Tetapi mendidik anak tanpa aturan yang harus dihormati, bisa membuat anak tidak mampu mengendalikan diri. Mereka bisa menjadi pribadi a-sosial; pribadi yang tidak mampu bermasyarakat.

Apa saja yang perlu kita perhatikan ketika harus memberi hukuman pada anak? Wallahu A’lam bishawab. Selebihnya ada beberapa catatan yang perlu kita perhatikan.

Pertama, menghukum anak bukan sebagai luapan emosi, apalagi sebagai pelampiasan rasa jengkel karena perilaku mereka yang memusingkan kepala. Segala sesuatu berawal dari niat. Tampaknya sepele, tetapi yang sepele ini mempengaruhi sikap kita, dan cara kita bersikap akan mempengaruhi penerimaan anak. Selain itu, dengan senantiasa belajar membenahi niat kita dalam menghukum anak, perilaku kita lebih terkendali. Kalau kita masih terbiasa bertindak impulsif, sekurangnya emosi kita akan lebih mudah reda. Kita lebih cepat menyadari kekeliruan kita dalam menghadapi anak.

Kedua, menghukum merupakan tindakan mendidik agar anak memiliki sikap yang baik. Artinya, hal terpenting dalam menghukum adalah anak mengerti apa yang seharusnya dilakukan dan memahami apa yang menyebabkan dia dihukum. Jika anak menyadari kesalahannya dan memperbaiki sikapnya, orangtua perlu memberi umpan balik yang positif. Tidak layak orangtua terus memberi tekanan mental kepada anak, padahal mereka telah menunjukkan penyesalan. Sebaliknya, yang perlu kita berikan adalah dukungan dan penerimaan yang tulus.

Ketiga, tindakan memberi hukuman kepada anak adalah dalam rangka mengajari anak bahwa setiap perbuatan mempunyai konsekuensi. Orangtua menghukum anak bukan karena marah atau membalaskan kejengkelan. Juga bukan untuk mempermalukan anak. Yang disebut terakhir ini perlu saya garis bawahi. Sering saya jumpai orangtua menghukum anak dengan cara mempermalukan, bahkan ketika anaknya masih belum genap berusia tiga tahun. Lebih menyedihkan lagi, terkadang orangtua tidak puas hanya dengan mempermalukan di hadapan teman dan tetangga. Orangtua bahkan mengolok-olok anak tanpa rasa bersalah sedikit pun. Padahal, inilah yang menghancurkan citra diri dan harga diri anak.

Apa yang terjadi jika anak merasa hukuman itu untuk mempermalukan dirinya? Ada beberapa kemungkinan. Boleh jadi anak berusaha untuk melakukan tindakan serupa. Anak mempermalukan orangtua. Boleh jadi anak belajar menjadi pemberontak. Mereka merasa senang apabila bisa membuat orangtuanya marah. Atau boleh jadi sebaliknya, anak merasa minder. Anak merasa dirinya tidak berharga.

Nah, kita akan mudah terpancing memberi hukuman yang mempermalukan anak apabila niat kita tidak kokoh. Karena itu, suami-istri perlu bekerja sama untuk terus-menerus membenahi niat. Ya, terus-menerus. Tanpa niat yang jernih, emosi bisa berapi-api tanpa terkendali. Kemarahan bisa meledak. Dalam keadaan demikian, kita mudah lupa terhadap niat awal membesarkan anak. Alhasil, keduanya saling berkait. Niat mempengaruhi emosi, dan sebaliknya emosi mempengaruhi niat. Lagi-lagi, butuh kerja-sama yang terus-menerus antara suami dan istri untuk senantiasa menata niat.

Saya mohon maaf jika harus mengulang-ulang masalah niat. Saya merasa perlu menegaskan hal ini karena saya melihat masalah niat memiliki pengaruh yang kuat. Niat bisa membawa dampak yang besar. Sayangnya, kita amat sering lupa.

Keempat, hukumlah anak, tetapi jangan sakiti dia. Acapkali kita bermaksud menghukum anak, tetapi yang terjadi sebenarnya adalah menyakiti hati anak. Kita memojokkan anak dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya mati kutu. Atau, kita menghujani anak dengan ancaman-ancaman yang menakutkan, meskipun anak sudah menunjukkan iktikad baik. Lebih tragis, kalimat-kalimat menyakitkan itu kadang kita ucapkan ketika penyesalan itu muncul dari kesadaran anak. Bukan saat tengkuk anak merunduk mendengar nasehat kita (yang barangkali lebih tepat disebut omelan).

Kelima, tetaplah berpikir jernih saat menghukum anak. Keputusan-keputusan yang baik dapat kita ambil hanya ketika pikiran kita jernih. Tanpa itu, tindakan kita justru bisa memperpanjang masalah dan memperumit keadaan. Tetapi, lagi-lagi pikiran yang jernih hanya bisa muncul ketika hati kita tenang dan emosi kita terkendali. Dalam keadaan emosi meluap-luap dan amarah yang memuncak, sulit kita berpikir dengan tenang, rasional dan terarah. Ini berarti, kita perlu kendali diri yang kuat. Begitu kemarahan memuncak akibat ulah anak-anak yang senantiasa teriak-teriak, kita perlu segera meredakan gejolak. Kita perlu mendinginkan emosi. Jika kita tidak mampu melakukannya, tugas istri untuk mengingatkan.

Kalau boleh jujur, inilah bagian paling sulit yang saya rasakan: menata hati terus-menerus. Padahal semua berawal dari sini. Ya, segala sesuatu bergantung dari niatnya. Dan niat bukanlah apa yang kita katakan, tetapi apa yang menggerakkan kita untuk berbuat. Wallahu a’lam bishawab.

Keenam, kasih-sayang mendahului kemarahan. Meskipun kita memberi hukuman kepada anak, tunjukkanlah bahwa kita melakukannya karena didorong oleh rasa cinta dan kasih-sayang. Imbasnya, jangan berat hati untuk mengusap kepala mereka atau mengecup keningnya dengan mesra ketika mereka menunjukkan keinginan untuk memperbaiki diri. Tunjukkanlah kasih-sayang sesudah menghukum, meski hati kita masih bergemuruh karena rasa jengkel yang belum pergi.

Tips Berbicara kepada Anak


Oleh: Renate Zorn
Konsultan Komunikasi, penulis "Good Conversation is for Everyone: Ten Steps to Better Conversations"

Anda mungkin tahu rasanya, bagaimana berkomunikasi dengan anak-anak. Terlebih lagi, anak-anak sendiri.

Berbicara kepada anak-anak, sebetulnya menyenangkan walau kadang-kadang mengesalkan. Untuk itu, diperlukan kehati-hatian, mengingat pekanya perasaan mereka, mengingat masih sedikit dan sempitnya wawasan mereka, dan masih polosnya cara berpikir mereka.

Di sela semua "kelemahan" itu, ada satu kekuatan terbesar yang dimiliki hanya di saat tertentu dalam hidup setiap manusia. Kekuatan yang dimiliki hanya di saat manusia masih menjadi anak-anak, yaitu daya ingat dan daya cerna yang luar biasa pesat dan hebatnya. Berhati-hatilah.

Berhati-hatilah jika Anda bermasalah di kantor. Jangan sampai kekesalan Anda tertumpah pada diri dan perasaan mereka. Apapun yang buruk dari mereka, akan berasal dari perkataan Anda sebagai orang tua.

Berhati-hatilah jika Anda bermasalah dengan pasangan atau keluarga Anda. Jangan sampai kemarahan Anda terlampiaskan pada perasaan dan jiwa yang masih benar-benar apa adanya. Apapun yang buruk dari mereka, akan berasal dari perkataan Anda sebagai orang tua.

Berhati-hatilah jika jalan hidup Anda tidak sesempurna yang Anda minta. Jangan sampai kekecewaan Anda menerpa pada hati dan pikiran suci mereka. Sebab Anda akan menciptakan anak-anak yang penuh cacat dan cela di dalam jiwanya. Apapun yang buruk dari mereka, akan berasal dari perkataan Anda sebagai orang tua.

Berikut ini adalah tips dari seorang konsultan komunikasi yang mendalami persoalan komunikasi antar pribadi, termasuk berkomunikasi dengan anak-anak.

TERSENYUMLAH DENGAN TULUS PADA MEREKA

Smile! And mean it! Lebih dari 50% komunikasi Anda, dilakukan dengan bahasa tubuh termasuk ekspresi wajah. Saat berbicara kepada anak-anak, persentase itu akan bertambah. Sebab bahasa tubuhlah yang lebih mereka pahami, ketimbang bahasa intelektual Anda sebagai orang dewasa.

JANGANLAH MERENDAHKAN MEREKA

Janganlah berbicara dengan merendahkan mereka. Adalah baik untuk mengetahui terlebih dahulu, seberapa jauh pemahaman mereka tentang suatu topik. Snorklinglah sebelum diving.

GUNAKANLAH ALAT PERAGA

Gunakan sesuatu yang anak-anak dapat melihat, mendengar dan menyentuhnya. Gunakanlah alat peraga secukupnya. Tidak perlu kebanyakan dan bertaburan. Anda tahu bagaimana anak-anak. Dengan alat peraga, mereka akan lebih mudah mengingat berbagai hal.

SEDERHANAKANLAH BICARA ANDA

Anak-anak akan cepat lelah dengan deskripsi yang terlalu detil, dan dengan teori serta konsep. Gunakanlah cerita, untuk mendemostrasikan informasi yang akan Anda sampaikan. Buatlah proses itu menjadi fun.

BERTANYALAH PADA MEREKA

Pertanyaan akan membuat anak-anak berpikir dan terlibat. Menjawab pertanyaan, bertanya, mengutarakan pendapat, dan melakukan evaluasi, adalah lebih menyenangkan bagi mereka dalam memahami berbagai fakta.

ANTUSIASLAH DI HADAPAN MEREKA

Jadilah antusias dan enerjik. Ini akan membuat Anda dan mereka tetap terjaga dan tertarik pada topik.

PAKAILAH KACAMATA MEREKA

Anak-anak melihat berbagai hal dengan cara pandang yang berbeda. Mereka melihatnya dengan kacamata mereka, bukan kacamata Anda. Concern, prioritas dan sistem nilai mereka, juga berbeda. Temukanlah apa yang penting bagi mereka, sebelum berbicara. Doronglah mereka untuk meminta penjelasan, jika mereka tidak memahami apa yang Anda katakan.

MEREKA TIDAK PEDULI ANDA SEBAGAI PEMBICARA

Mereka, tidak peduli apakah Anda seorang pembicara yang hebat atau tidak. Apa yang mereka inginkan, hanyalah kejujuran, antusiasme, dan respek. Jika Anda melakukan kesalahan berbicara atau lupa akan sesuatu, tak perlu khawatir. Anak-anak itu menyenangkan, sebab mereka tak akan menghakimi Anda. Teruskan saja bicara Anda.

JUJURLAH PADA MEREKA

Jika Anda tidak tahu jawaban dari pertanyaan mereka, jujur saja. Tak usah Anda karang-karang jawabannya. Anak-anak, biasanya mengetahui jika Anda ngibul. Bilang saja nanti akan Anda cari jawabannya. Dan ingatlah, mereka akan menagihnya.

LIBATKANLAH MEREKA

Libatkanlah mereka. Jika ada bagian dari bicara Anda di mana mereka bisa tampil ke depan, melakukan penghitungan, atau membicarakan sesuatu, berikan kesempatan itu pada mereka.

JIKA MEREKA HARUS DUDUK DAN DIAM: TEKNIK ABC

Ada saat atau sesi tertentu di mana anak-anak memang diharapkan hanya duduk dan mendengarkan. Untuk sesi seperti ini, Anda hanya perlu melakukan beberapa penyesuaian.

A: Attention Span

Attention span atau rentang perhatian, adalah faktor yang membedakan kemampuan mendengar, antara anak-anak dan orang dewasa. Setelah dewasa, Anda telah bisa mengembangkan kemampuan untuk lebih fokus dan lebih lama bertahan mendengarkan sesuatu. Anak-anak belum bisa sejauh itu.

Perhatikanlah acara bagus untuk anak-anak di televisi. Semuanya dipecah-pecah ke dalam berbagai segmen yang pendek-pendek. Dibuat seperti itu, agar anak-anak tetap duduk dan mendengarkan.

Jika anak-anak terlibat dalam suatu aktivitas yang tidak dipilihnya sendiri, mereka akan lebih enggan mendengarkan. Prediksilah secara realistis, berapa lama mereka akan tetap fokus.

B: Break it Up

Jika Anda berbicara pada sekelompok anak-anak, pecahlah mereka menjadi kelompok-kelompok kecil. Jika bicara Anda akan panjang atau menyangkut beberapa isu sekaligus, pecahlah bahan bicara Anda menjadi potongan-potongan yang sederhana dan mudah dicerna.

C: Children are Still Children

Seberapa pun besarnya energi dan antusiasme Anda, mereka tak akan pernah melihatnya dari perspektif Anda. Selogis apapun pernyataan Anda, mereka tak akan pernah melihatnya seperti Anda melihatnya. Cobalah untuk memasuki sudut pandang mereka, kemudian bertanyalan WIIFM (What's In It For Me?). Sebab, mereka juga punya yang namanya minat dan ketertarikan pada sesuatu.

KESIMPULAN

Sebagian besar dari kita, adalah orang-orang dewasa yang tak sempurna, manusia-manusia yang penuh dengan cacat dan cela. Sebagian besarnya, disebabkan oleh kata dan bicara para orang tua kita. Kita masih bisa merasakan bekas dan carut-marutnya. Itulah luka lama kita, yang kecil kemungkinan bisa hilang selamanya.

Kita tidak akan menyalahkan para orang tua. Sebab mereka hanya berjalan sesuai dengan perkembangan ilmu dan pengetahuan, sejalan dengan impian dan harapan, seiring dengan wawasan dan kemampuan. Begitulah yang telah terjadi, dan kita sudah tidak bisa apa-apa lagi, kecuali membangun masa depan.

Apa yang terpenting, adalah menciptakan masa depan yang lebih baik dan makin baik. Masa depan dari anak-anak kita.

Kita tak ingin mereka sama tak sempurnanya dengan kita. Kita ingin mereka lebih baik dari kita. Kita tak ingin semua cacat dan cela menggores lagi, seperti yang terjadi pada diri kita sendiri. Kita tak ingin semua itu datang dan datang lagi. Oleh sebab itu, janganlah kita ulangi kembali.

Anak-anak tetaplah anak-anak. Orang dewasa mestinya makin dewasa.


QA COMMUNICATION
School of Motivational Communication
Telepon: 021-70330805
Fax: 021-78885932
Jl. Kelapa Hijau III No. 46
Jagakarsa, Jakarta Selatan
DKI Jakarta, Indonesia

Memperbaiki Perilaku Menyimpang Anak

MUQODDIMAH
Sebelum membahas tentang prilaku yang menyimpang pada anak-anak dan solusinya, orangtua perlu terlebih dahulu memahami tentang ghorizah (naluri, instinct). Ghorizah adalah kekuatan terpendam dalam diri binatang dan manusia yang mendorongnya untuk melakukan beberapa pekerjaan tanpa berpikir dan latihan terlebih dahulu. Sebagaimana pada binatang, pada manusia juga terdapat banyak ghorizah, misalnya rasa ingin tahu, rasa ingin mempertahankan diri, keinginan untuk mengurai dan menyusun sesuatu, cinta diri, ingin menonjol, berhemat dan sebagainya. Ghorizah merupakan nikmat Allah yang diberikan pada anak-anak untuk mendorongnya bergerak sehingga tubuhnya kuat, dan untuk mengetahui, mengurai dan menyusun sesuatu sehingga ia tahu hakikat sesuatu itu.

Sebahagian gorizah ini tampak berbahaya, misal kecenderungan untuk membunuh. Akan tetapi ghorizah ini tidak boleh dikekang sehingga menimbulkan tekanan dan menyebabkan penyakit syaraf. Yang perlu dilakukan oleh orangtua/pendidik adalah bagaimana mengarahkan ghorizah negatip ini menjadi perbuatan yang positip, misal anak yang suka berkelahi dapat diarahkan untuk mengikuti klub-klub olahraga, sehingga ghorizah suka berkelahinya tersalurkan lewat perbuatan yang bermanfaat. Jadi secara ringkas yang perlu dilakukan oleh orangtua dalam masalah ini adalah membiarkan anak-anak mengatakan apa yang ia suka dan mengerjakan apa yang ia kehendaki selama perkataan dan perbuatan itu baik dan tidak membahayakan dirinya dan orang lain. Jika ada kecenderungan yang negatip, maka tugas orangtua adalah mengarahkannya, bukan mengekangnya secara paksa.

SEBAB-SEBAB UMUM PRILAKU YANG MENYIMPANG

Beberapa sebab umum penyimpangan prilaku pada anak-anak adalah:

  • Kekurangsabaran terhadap anak;
  • Anak tidak mendapat suasana yang penuh cinta dan dorongan;
  • Terlalu mengarahkan perubahan prilaku anak ke arah yang lebih baik;
  • Keinginan yang besar dalam menjalankan aturan;
  • Ketidakpahaman terhadap perasaan dan pandangan anak;
  • Tidak menganggap anak sebagai individu yang aktif dalam masyarakat;
  • Membawa persoalan pribadi ke dalam pergaulan dengan anak-anak;
  • Kesalahan dalam memberikan hukuman.
PRINSIP UMUM DALAM MEMPERBAIKI PRILAKU YANG MENYIMPANG PADA ANAK-ANAK
  • Mempergauli anak dengan kasih dan cinta serta menjaga perasaannya;
  • Memahami rahasia tindakannya dan memperhatikan pandangannya;
  • Bersabar, tenang dan bertahap dalam memperbaiki prilakunya;
  • Berusaha untuk memperoleh kepercayaannya sebab hal ini membantu dan mempermudah orangtua dalam proses pendidikannya;
  • Menghindari kesalahan dan konsisten dalam memberikan hukuman;
  • Membantu anak dalam mengoreksi dan memperbaiki kesalahannya;
  • Memberikan kebebasan yang diperlukan anak agar ia dapat mengungkapkan ghorizah-ghorizahnya dan agar ia tumbuh mandiri.
CONTOH-CONTOH KASUS

Anak Durhaka
Penyebab:

  1. Perintah yang diberikan bertentangan dengan ghorizah anak;
  2. Perintah dan larangan tidak konsisten;
  3. Perintah di luar kesanggupan anak;
  4. Perintah yang diberikan memberi peluang untuk didurhakai, tidak disertai dengan penjelasan dan motivasi (sugesti);
  5. Perintah diberikan pada waktu yang tidak sesuai.

Anak Penakut
Ketakutan dapat menyebabkan kerusakan pribadi anak dan syarafnya, bahkan kegilaan.
Penyebab:

  1. Cerita-cerita seram dan menakutkan;
  2. Kurang dibiasakan pada suasana gelap;
  3. Ketakutan orangtua, misal terhadap kecoa, tikus, dan sebagainya;
  4. Hukuman yang berat dan ancaman yang terlalu sering.

Anak Pendusta
Penyebab:

  1. Perlakuan keras dan kasar;
  2. Orangtua yang pendusta;
  3. Kesadaran anak akan kekurangannya;
  4. Karena ingin dipuji dan dorongan naluri cinta diri;
  5. Seringnya mendengar cerita-cerita bohong;
  6. Karena khayalannya.

Anak Pencuri
Penyebab:

  1. Tuntutan/keinginan yang tidak terpenuhi;
  2. Ghorizah yang didorong oleh cerita atau peristiwa yang dilihat;
  3. Meniru perbuatan orangtua, tetangga, atau temannya;
  4. Cemburu dan dendam;
  5. Rasa ingin memiliki.

Anak Pemalas
Penyebab:

  1. Keloyoan (kurang gizi atau ada penyakit)
  2. Kurang mendapat perhatian;
  3. Kurang dukungan orangtua;
  4. Ketidakteraturan dan kekurangharmonisan di dalam rumah tangga.

Anak Penentang
Penyebab:

  1. Perintah yang berlebihan dan di luar batas kemampuan;
  2. Perbedaan orangtua dalam mendidik anak;
  3. Perintah dan larangan yang tidak konsisten atau berlainan antara ibu, ayah, atau guru;
  4. Kedengkian dan perlakuan yang tidak adil;
  5. Kekerasan dan kekasaran dalam mendidik;
  6. Terlalu banyak dilarang, karena kekhawatiran orangtua terhadap anak.

Anak Pendengki
Penyebab:

  1. Tidak mendapatkan tuntutan-tuntutan kehidupan yang pokok;
  2. Perlakuan yang tidak adil;
  3. Memberikan pakaian atau peralatan bekas kakaknya;
  4. Membanding-bandingkan kelebihan atau kekurangan antara anak.

Anak Pemarah
Penyebab:

  1. Kecemburuan akibat perlakuan yang tidak adil;
  2. Sering ditipu baik oleh teman atau saudaranya;
  3. Contoh yang buruk;
  4. Banyaknya perintah, tuntutan, dan beban dari orangtua yang di luar batas kemampuan anak.

Anak Egois
Penyebab:

  1. Contoh dari orangtua;
  2. Kurangnya kerjasama dan tolong-menolong di dalam keluarga;

Anak Perusak
Penyebab:

  1. Ghorizah (rasa) ingin tahu;
  2. Sebab-sebab psikologis, seperti: rasa cemburu, marah, dan dengki;
  3. Sebab-sebab psikologis lain yang tidak disadari.

Efek Mendidik Anak

Jika seorang anak hidup dalam suasana penuh kritik,
Ia belajar untuk menyalahkan.

Jika seorang anak hidup dalam permusuhan,
Ia belajar untuk berkelahi.

Jika seorang anak hidup dalam ketakutan,
Ia belajar untuk gelisah.

Jika seorang anak hidup dalam belas kasihan diri,
Ia belajar mudah untuk memaafkan dirinya sendiri.

Jika seorang anak hidup dalam ejekan,
Ia belajar merasa malu.

Jika seorang anak hidup dalam kecemburuan,
Ia belajar untuk iri hati.

Jika seorang anak hidup dalam rasa malu,
Ia belajar untuk merasa bersalah.

Jika seorang anak hidup dalam semangat jiwa besar,
Ia belajar untuk percaya diri.

Jika seorang anak hidup dalam menghargai orang lain,
Ia belajar untuk setia dan sabar.

Jika seorang anak hidupnya diterima apa adanya,
Ia belajar untuk mencintai.

Jika seorang anak hidup dalam suasana rukun,
Ia belajar untuk mencintai dirinya sendiri.

Jika seorang anak hidupnya dimengerti,
Ia belajar bahwa sangat baik untuk mempunyai cita-cita.

Senin, 17 Agustus 2009

Kebanyakan Harga Diri Anak "Jatuh" dari Rumah


*Catatan untuk para orangtua dan Calon orangtua*

"... Kita melampiaskan 99 persen kemarahan justeru kepada orang-orang yang kita cintai. Dan akibatnya sering kali fatal..."
Kebanyakan mereka yang menjadi pelampiasan amarah orang tua adalah anak-anak.

Laporan Anita Anggriany
Tidak banyak orang tua menyadari bahwa baik buruknya mental dan jiwa anak terbentuk dari perilaku mereka ketika mengasuh anak sejak kecil. Mereka yang mendapat pengasuhan dengan perilaku yang positif, menghasilkan anak-anak dengan mentalitas yang positif. Sebaliknya mental mereka menjadi kerdil dan negatif karena pola asuh yang negatif.
Kenyataan di atas bahwa hampir 99 persen kemarahan orang tua dilampiaskan kepada anak tentu sangat mengejutkan. Namun menurut President Director Auladi Parenting School, Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari, kondisi inilah yang terjadi.
"Hanya ada dua pesan yang kita sampaikan kepada anak-anak, apakah itu merendahkan atau menghidupkan," tandas Ihsan, Pesan ini kata Ihsan, kemudian membekas lama dan berlangsung panjang sampai seusia anak tersebut. Kenyataannya, sebagian pesan yang dikirim orang tua bukan menghidupkan tetapi malah merendahkan anak-anak.
"Akibat perilaku negatif orang tua dalam mengasuh, anak-anak malah kehilangan harga diri. Harga diri mereka jatuh dari dalam rumah sendiri," ujar Ihsan kepada Fajar di sela-sela acara.
Akhirnya, kata dia, generasi penerus itu memilih untuk mencari harga dirinya di luar rumah. Mereka lebih mempercayai teman, pacar dan orang lain untuk berbagi kisah, kesedihan dan kehidupan sehari-hari. Bahkan mereka lebih nyaman dengan orang lain daripada orang tua di rumah.
Padahal menurut Ihsan, kalau saja orang tua tahu bagaimana mengasuh anak dengan benar, maka tidak perlu mahal-mahal mengadakan kampanye antinarkoba dan seks bebas. "Kalau saja kita bisa melakukan yang terbaik untuk anak kita, pada akhirnya mereka akan tahu ke mana mereka datang, apa yang harus mereka lakukan dan ke mana mereka akan pergi," tandasnya.
Ihsan mengatakan, sebenarnya tidak sulit untuk menjadi orang tua yang baik untuk anak. Asal orang tua mau belajar dan terus memperbaiki diri. Tentu saja, kata dia, tidak pernah ada sekolah tentang bagaimana menjadi orang tua. Itu sebabnya, tak jarang, cara pengasuhan anak pun menjadi trial and error. Kita mencoba dan gagal, lalu coba lagi. Sementara anak yang menjadi "uji coba" kita itu semakin bertumbuh, belajar dari trial and error itu.
Itu sebabnya, Ihsan dan sejumlah temannya membangun sekolah untuk orang tua atau Parenting School. Sekolah itu mengajarkan kepada orang tua bagaimana mengasuh anak yang baik.

Berpikir Positif dan Mendengarkan

Ada sejumlah hal yang menjadi pijakan dalam mengasuh anak seperti yang diajarkan dalam Parenting School. Di antaranya adalah berpikir positif dan bagaimana menjadi pendengar yang baik untuk anak.
Ihsan mengingatkan, bahwa sebagai orang tua, kita memiliki 100 persen energi. Demikian pula dengan anak, mereka pun memiliki 100 persen energi. Persoalannya, ke mana akan kita arahkan energi ini? "Apakah ke arah positif atau ke arah negatif, ini semuanya tergantung orang tua," tandas Ihsan.
Yang jelas, kata dia, kalau kita selalu memikirkan hal-hal negatif yang ada pada anak, atau bahkan pasangan kita, maka hasilnya pun akan negatif. "Jangan selalu mencari siapa yang salah ketika ada masalah yang dilakukan anak, tetapi sebaliknya kita mencari solusi dari masalah yang terjadi".
Misalnya, anak kita menjatuhkan pot bunga. Yang kita lakukan adalah bagaimana meminta anak untuk berhati-hati agar tidak terjadi kesalahan lagi, bukan malah memarahinya dan memberikan sanksi atas kesalahan yang tidak disengaja itu.
Namun begitu, bukan berarti orang tua tidak boleh marah, sedih atau kecewa bila anak-anak melakukan kesalahan. Tetapi semua perasaan itu seharusnya diekspresikan dengan cara yang lebih baik dan tidak kasar.
"Kita bisa katakan pada anak, bahwa kita kecewa anak melakukan kesalahan ini, tetapi tidak dengan nada marah, melainkan menyampaikan dengan lembut. Sehingga anak-anak mengerti bahwa mereka telah mengecewakan ibu atau ayahnya," ujar Ihsan.
Selain itu, yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana menjadi orang tua yang mendengarkan anak. Ihsan menekankan bahwa mendengarkan bukan hanya sekadar memasang kuping lalu pikiran dan hati tidak fokus pada apa yang disampaikan anak. Mendegarkan itu kata dia, adalah talking heart by heart.
"Kita berhasil mendengarkan bila kita bisa menangkap pikiran dan perasaan anak," tandas Ihsan.
Mendengarkan anak ketika bercerita, bukan hanya menjalin komunikasi dan hubungan yang baik dengan anak. Tetapi yang lebih penting lagi, mendengarkan bisa membantu anak untuk membuka perasaan dan berbagi dengan orang lain.
Apa akibatnya bila kita tidak mendengar anak? "Kita menghambat perasaan anak, sehingga menjadi kotor, mampet dan suatu saat akan meledak," ujar Ihsan. (anita@fajar.co.id)
Diposkan oleh Anita Anggriany di 06:38

Kamis, 13 Agustus 2009

Pohon Apel dan Anak Laki



Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak lelaki yang senang bermain-main di bawah pohon apel itu setiap hari.

Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya,tidur-tiduran di keteduhan rindang daun-daunnya. Anak lelaki itu sangat mencintai pohon apel itu. Demikian pula pohon apel sangat mencintai anak kecil itu. Waktu terus berlalu. Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya.

Suatu hari ia mendatangi pohon apel. Wajahnya tampak sedih. "Ayo ke sini bermain-main lagi denganku," pinta pohon apel itu. "Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi," jawab anak lelaki itu."Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya."

Pohon apel itu menyahut, "Duh, maaf aku pun tak punya uang... tetapi kau boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan kegemaranmu." Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua buah apel yang ada di pohon dan pergi dengan penuh suka cita. Namun, setelah itu anak lelaki tak pernah datang lagi. Pohon apel itu kembali sedih.

Suatu hari anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel sangat senang melihatnya datang. "Ayo bermain-main denganku lagi," kata pohon apel. "Aku tak punya waktu," jawab anak lelaki itu. "Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?" Duh, maaf aku pun tak memiliki rumah.

Tapi kau boleh menebang semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu," kata pohon apel.Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon apel itu dan pergi dengan gembira.Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat anak lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah kembali lagi. Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih.

Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel merasa sangat bersuka cita menyambutnya."Ayo bermain-main lagi denganku," kata pohon apel."Aku sedih," kata anak lelaki itu."Aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk pesiar?" "Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah."

Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon apel itu dan membuat kapal yang diidamkannya. Ia lalu pergi berlayar dan tak pernah lagi datang menemui pohon apel itu.

Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun kemudian. "Maaf anakku," kata pohon apel itu. "Aku sudah tak memiliki buah apel lagi untukmu." "Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit buah apelmu," jawab anak lelaki itu.

"Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat," kata pohon apel."Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu," jawab anak lelaki itu."Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan padamu. Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini," kata pohon apel itu sambil menitikkan air mata. "Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang," kata anak lelaki. "Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu." "Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang." Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar pohon.

Pohon apel itu sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air matanya.

Pohon apel itu adalah orang tua kita.
Ketika kita muda, kita senang bermain-main dengan ayah dan ibu kita. Ketika kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka, dan hanya datang ketika kita memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan. Tak peduli apa pun, orang tua kita akan selalu ada di sana untuk memberikan apa yang bisa mereka berikan untuk membuat kita bahagia. Anda mungkin berpikir bahwa anak lelaki itu telah bertindak sangat kasar pada pohon itu, tetapi begitulah cara kita memperlakukan orang tua kita.